PROSULUT.Com, MANADO – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, disinyalir mengalami kerugian miliaran rupiah, menyusul ‘dikorupsinya’ dana remunerasi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Kandou, yang pengucurannya mencapai miliar setiap bulannya.
Kuat dugaan, pemotongan dana remunerasi tersebut, melibatkan beberapa oknum pegawai di lingkup rumah sakit, yang notebene merupakan pengambil keputusan.
Beredar kabar kalau potongan anggaran tersebut terjadi saat Direktur Utama (Dirut) RSUP Kandou dijabat JP, pada 2018 lalu, dan terus berlanjut ke penggantinya, IR.
Imbas pemotongan tidak wajar yang telah berlangsung beberapa tahun itu, menyisahkan keluhan di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Ironisnya, meski telah tahu penyimpangan tersebut, namun mereka tidak berani mempertanyakannya ke dewan direksi.
Beberapa ASN mengatakan, pemotongan dana remunerasi bervariasi. Untuk pegawai administrasi dipotong Rp 500 ribu, sampai 1 jutaan sedangkan tenaga keperawatan mencapai Rp 2 jutaan.
“RS Kandou ada sekitar dua ribuan pegawai. Jika dihitung, berapa besar jumlah kerugian yang dialami Kemenkes. Padahal remunerasi tersebut sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014, tentang Aparatur Sipil Negara,” kata salah satu ASN, yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Menyikapi kejadian itu, para ASN yang menjadi korban, akhirnya membentuk tim investigasi dengan nama Merah Putih. Diharapkan, tim yang dibentuk dapat menyingkap sepak terjang kasus tersebut dan meneruskannya ke aparat penegak hukum.
“Misi kami, siap memperjuangkan hak – hak ASN RSUP Kandou. Sekarang ini, kami sedang menyusun berkas untuk melaporkan keganjalan yang terjadi di RS Kandou, ke kementerian kesehatan dan Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Utara (Sulut),” kata Doni didampingi beberapa rekannya, kepada wartawan, Selasa (12/11/2024).
Menurutnya pembayaran remunerasi sudah melanggar aturan. Tidak sesuai dengan regulasi yang tercantum pada peraturan Kemenkes RI. Apalagi kata dia, berdasarkan tabel Kemenkes, ASN berijazah Sekolah Dasar (SD) hingga Strata 2, pembayaran remunerasi bervariasi antara Rp 3 juta hingga Rp 7 juta, meski kenyataannya tidaklah demikian.
Parahnya lagi kata dia, direksi bersama kroninya tidak transparan dengan regulasi tersebut, sehingga hak – hak mereka terabaikan. Selain itu, ditemukan juga ada pegawai yang harusnya mengurus pasien (tenaga kesehatan-red), justru dibiarkan rangkap jabatan menangani remunerasi.
“Kesejahteraan sangat berpengaruh bagi tenaga administrasi maupun tenaga kesehatan. Kami berharap, kejadian ini menjadi prioritas Kementerian Kesehatan, termasuk menempatkan direktur utama definitif yang memiliki ahlak dan adab, terhadap kepentingan orang banyak,” tandas Doni.(*)