Calon Gubernur (Cagub) Sulawesi Utara (Sulut) Drs Steven OE Kandouw dan Cawagub Letjen TNI (Purn) Alfret Denny Tuejeh, telah dideklarasikan, hari Sabtu 28 September 2024 di salah satu hotel, di Kabupaten Minahasa Utara (Minut).
Deklarasi pasangan kandidat top eksekutif di Bumi Nyiur Melambai tersebut, digelar bersamaan dengan pelantikan tim kampanye dan organ relawan. Ribuan pendukung tumpa ruah di ballroom tempat pelaksanaan kegiatan itu.
Siapakah sosok kandidat orang nomor satu di Sulut yang bernama lengkap Steven Octavianus Estefanus Kandouw ini? Berikut sekilas profil Cagub Sulut yang diusung PDI Perjuangan.
Telah Lulus Ujian Awal.
Steven-sapaan akrabnya-bisa dibilang telah malang melintang di dunia politik. Sejak mula-mula berkarier di dunia politik, ia telah bernaung di bawah panji partai berlambang Kepala Banteng. Tidak di saat partai telah eksis. Sebaliknya, ia telah ditempa oleh pengalaman pahit getirnya perjuangan partai yang dipimpin Megawati Soekarno Puteri ini sebelum era reformasi.
Lulusan FISIP Universitas Indonesia ini merintis karier politik di partai dengan warna khas merah ini sejak dari bawah. Mulai dari pengurus ranting, ia kemudian dipercayakan sebagai Ketua PAC Toulimambot Tondano. Karier politiknya yang dijejak dari bawah ini, dikemudian hari disyukuri oleg Steven. Pada tahun 1999, ia makin yakin pilihan politik untuk berjuang membesarkan partai lewat posisi sebagai pengurus di DPC PDI Perjuangan Minahasa, tidak salah.
Di tahun-tahun selanjutnya, ia dipercayakan untuk menempati posisi strategis sebagai Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDI Perjuangan Sulut. Posisi sebagai wakil ketua ini didudukinya hingga sekarang. Masuk akal jika ia dianggap sebagai kader handal partai yang bisa meneruskan tongkat estafet dari Olly Dondokambey yang telah dipercayakan sebagai Gubernur Sulut selama dua periode.
Sejarah juga mencatat, Steven mampu menjalankan tugas sebagai Wagub Sulut selama dua periode. Dua periode saja menjadi pendamping gubernur, sudah merupakan torehan prestasi. Apalagi selama dua periode itu, ia tahu persis bagaimana menempatkan diri secara proporsional. Tak salah jika di saat ini, ia mendapatkan kesempatan untuk menjadi Cagub Sulut.
Sejak awal hingga akhir masa jabatan, duet Olly-Steven jauh dari intrik dan isu perpecahan. Padahal banyak pengalaman yang menunjukkan keakraban antara gubernur dan wakilnya, atau walikota dan bupati dengan wakilnya, tidak berlangsung lama. Bahkan, tak jarang pasangan itu harus pisah di tengah jalan. Tapi tidak demikian dengan paket Olly-Steven. Keduanya telah memberikan contoh tentang betapa pentingnya keutuhan dan saling percaya antar kedua pasangan. Bukan saja penting untuk keduanya secara pribadi, tapi untuk masyarakat banyak yang telah memberikan amanat saat pilkada.
Steven sepertinya menganut adagium tersohor yang berbunyi; jika ingin menjadi pemimpin yang baik, haruslah terlebih dahulu menjadi pengikut yang baik. Ia telah menjadi pengikut yang baik selama ini. Itu berarti ia telah lulus ujian awal yakni ujian kesetiaan dan kesabaran.
Keluarga adalah Harta yang Paling Berharga
Ada pendapat umum yang mengatakan untuk bisa sukses berkarier di dunia politik, keluarga akan menjadi korban. Dengan kata lain, sulit untuk bisa sukses kedua-duanya. Baik di keluarga maupun di politik. Tapi ada juga politisi yang menjadikan keluarga sebagai pijakan untuk bisa sukses melangkah di ranah politik.
“Keluarga adalah yang utama dan pertama. Karena keluarga adalah harta yang paling berharga. Tapi juga politisi adalah profesi luhur karena tujuanya untuk kepentingan orang banyak,” jelas Steven.
Sebagai politisi, ia mengakui terus berusaha untuk menyeimbangkan kedua dunia tersebut.
Steven mengenang, di awal-awal ia terjun di dunia politik, keputusannya sempat dipertanyakan oleh sang isteri tercinta Devi Kartika Tanos. Devi-begitu biasa disapa-berprofesi sebagai dokter dan berkecimpung di dunia birokrat. Namun, tanpa kenal lelah, Steven terus meyakinkan pasangannya. Seiring berjalannya waktu, isterinya justru yang menjadi pilar yang menopang keputusannya untuk menjadi politisi.
Dunia politik boleh dikata cukup akrab dengan Devi. Kendati ayahnya berasal dari kalangan militer, tapi sang ayah juga pernah menduduki jabatan politik sebagai Ketua DPRD Sulut. Ayah Devi sebelum pensiun berpangkat brigadir jenderal TNI.
Pada tahun 2019, tepatnya 11 Juli keluarga Kandouw-Tanos merayakan HUT Perkawinan ke-20. Saat diberi kesempatan untuk menyampaikan sepatah dua kata, Steven-sapaan akrab Wakil Gubernur Sulut ini, sempat bernostalgia.
Mengenang perjuangannya mempersunting mantan Noni Sulut sebagai pendamping hidup. “Tidak gampang untuk meminang isteri saya. Tapi syukur, melalui perjuangan yang panjang dan tidak kenal lelah, akhirnya kami mendapat restu,” bebernya sambil tersenyum.
Pada kesempatan itu juga, ayah tiga orang anak ini sempat berkelakar. “Banyak yang bertanya kenapa berat badan saya sudah turun. Saya hanya sampaikan, sering dimarahi istri. Ini adalah kunci kalau suami ingin menurunkan badan,” kata ayah dari Ernesto, Abigail, dan Oswaldo ini sambil tertawa.
Steven bersyukur, ia bersama istri hingga saat ini mampu mampu menjaga keluarganya tetap dan makin harmonis. “Puji Tuhan, anak-anak semua dalam keadaan baik. Hormat kepada orang tua. Ernesto bisa menjadi polisi. Padahal banyak berpendapat anak seorang wagub siapa yang berani. Tapi bagi Ernesto, itu bukanlah pilihan. Dia berani dilatih keras dan didik agar semakin baik. Kita selalu berdoa, keluarga ini tetap dalam lindungan Tuhan,” ungkapnya sembari menambahkan, “Bagai perahu,.. saya sema-sema kiri, istri saya sema-sema kanan. Dia membuat saya dan anak-anak diberkati Tuhan. Bayangkan kalau sebuah perahu, tak punya salah satu sema-sema. Apa jadinya ?,” katanya.
Diakui politisi yang pernah menjadi Ketua DPRD Sulut ini, rumah tangganya tak luput juga dari percekcokan. “Tak ada gading yang tak retak. Begitu juga keluarga saya. Tapi saya dan istri selalu mengedepankan dialog untuk menyelesaikan persoalan,” tukasnya. Dia bersyukur, sang isteri bisa menjadi penyeimbang dan sekaligus pengontrol baginya selama berkiprah di dunia politik.
Di kesempatan lain, saat merayakan ulang tahunnya yang ke-50, Steven menyebut sang istri tercinta, sebagai pendamping setia sekaligus sosok penentu kesuksesannya. “Kuncinya setia pada Tuhan. Paling penting juga adalah rusuk kita, yakni istri yang selalu membantu, memberikan inspirasi serta mendampingi saya secara luar biasa,” terang Steven. Baginya, keluarga yang baik dimulai dengan cinta, dibangun dengan kasih sayang, dan dipelihara dengan kesetiaan.
Sukses Lantaran Belajar dari Kegagalan
Karier politik Steven, sama dengan kebanyakan politisi, tidak selalu berjalan mulus. Sering ia harus melalui kerikil-kerikil tajam selama menyandang predikat sebagai politisi. Ia menyadari betul, rintangan dan tantangan bahkan kegagalan, adalah resiko yang harus dihadapi.
Seperti yang dialaminya saat pertama kali menjadi calon anggota legislatif di tingkat kabupaten pada tahun 1999. Di pesta demokrasi pasca orde baru ini, ia gagal menjadi anggota Dekab Minahasa. Penyebabnya, saat itu sistem pemilihan yang digunakan adalah nomor urut. Dan pada saat itu ia tidak mendapatkan tempat di nomor urut jadi.
Jika dingat-ingat, menurutnya dalam suatu kesempatan, pada saat itu ia tidak mempermasalahkan ditempatkan di nomor urut kesekian. Jangankan kecewa. Sebaliknya sebagai politisi muda, ia merasa bersyukur mendapatkan kesempatan menjadi calon wakil rakyat. Di kemudian hari, ia menyadari kegagalan yang dialaminya saat pertama kali ikut pemilu adalah sukses yang terunda. Ia mampu menerima kegagalan dan menjadikan pengalaman itu sebagai peluang untuk meraih keberhasilan di kemudian hari.
Usai pemilu pun, ia tak mengendurkan semangat untuk terus berjuang di partai yang dikenal partai wong cilik ini. Insting politiknya ini di kemudian hari tepat. Kendati ia mengaku pilihannya bergabung dengan partai berwarna khas merah ini di awal-awal era reformasi, sempat mendapatkan tantangan.
Steven tidak keberatan memulai karier di partai berlambang Kepala Banteng ini, dari level bawah. Lulusan FISIP Universitas Indonesia ini, mengawali pengabdiannya sebagai Ketua PAC Toulimambot. Usai gagal di pemilu 1999, justru membuatnya makin bersemangat berjuang di partai. Ia terpilih sebagai Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Minahasa.
Jalan politik yang dirintisnya mulai terbuka saat Pemilu 2004. Figur yang suka bercanda ini, terpilih sebagai anggota DPRD Sulawesi Utara. Di gedung cengkih inilah, bakat politiknya makin diasah. Bintangnya makin bersinar terang. Itulah sebabnya pada saat penjaringan top eskekutif di Minahasa, Steven diplot sebagai calon wakil bupati mendampingi Ir. Roy O. Roring.
Selama kampanye, sosok yang hobi membaca ini dikenal sebagai salah satu singa podium. Kata-katanya sering menghujam tajam. Intonasinya terdengar garang. Orasinya yang sering membakar semangat ini, membuat Steven makin populis. Tapi apa mau di kata. Kendati telah mengerahkan seluruh kemampuan dan berkeja keras, pasangan ROR-SOK ini tidak terpilih.
Perolehan suara paket yang diusung PDI Perjuangan ini, masih belum cukup untuk jadi pemenang. Padahal saat itu banyak analis politik memprediksi pasangan tersebut bakal keluar memperoleh suara terbanyak.
Pada tahun 2009, Steven kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Sulut periode 2009-2014. Di kontestasi politik kali ini, dia berhasil meraih suara signifikan. Steven dipercayakan sebagai Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sulut. Kerja-kerja politik dijalankannya dengan konsisten. Makanya, pada Pemilu 2014, dia berhasil meraih suara terbanyak. Di Dapil Minahasa-Tomohon, Steven meraup 33.649 suara. Perolehan suara itu menghantarnya ke kursi Ketua DPRD Sulut.
Sejak dipercayakan sebagai Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sulut, Steven makin sering tampil di kegiatan-kegiatan partai. Dia sering didaulat untuk menyampaikan materi di acara pendidikan dan pelatihan kader partai. Ada satu ilustrasi yang disering dijadikan contoh olehnya. “Kalau mengaku kader partai, harus seperti batu kristal. Dibuang di tempat sampah, atau dibuang di tempat becek pun, batu kristal tetap akan bercahaya,” tuturnya memberi ilustrasi.
Di dunia politik, menurutnya, agar bisa bertahan politisi harus loyal kepada rakyat, partai dan bangsa . Termasuk dedikasi dan integritas. Bahkan, baginya politisi akan makin matang apabila pernah mengalami kegagalan. “Politisi perlu diuji, apakah mampu dan berani menghadapi tantangan atau tidak. Kalau tidak mau diterpa ombak, jangan dirikan rumah di tanjun. Kalau tidak mau mengambil resiko dan gagal, jangan jadi politisi,” katanya.
Buah dari konsistensinya, pada tahun 2015, mantan Ketua GABSI Sulut ini dipercayakan sebagai Cawagub Sulut. Menariknya, proses penetapan dirinya sebagai kandidat orang nomor dua di Sulut ini, berlangsung cepat dan cenderung mengejutkan. Sebagai politisi, pasti memiliki impian untuk menjadi top eksekutif. “Saya terus terang kaget saat dihubungi Pak Olly Dondokambey, untuk mendampingi beliau di pilgub. Tapi sebagai kader partai, saya anggap permintaan Pak Olly adalah perintah yang harus ditaati,” kenangnya.
Rasa kagetnya beralasan. Karena Steven baru saja menjabat sebagai Ketua DPRD Sulut. Apalagi, pada saat proses penjaringan bakal calon wakil gubernur, politisi kawakan ini tidak mendaftar. 5 kader internal yang terjaring yakni H.R Makagansa, Jabes Gaghana, Toni Supit, Teddy Kumaat dan James Sumendap. Duet Olly-Steven kemudian terpilih di Pilgub Sulut 2015. Siapa yang menyangka, Steven yang gagal saat menjadi Calon Wakil Bupati Minahasa, akhirnya terpilih sebagai Wakil Gubernur Sulut selama dua periode.
Meminta Maaf dengan Tulus
Pria kelahiran 5 September 1969 ini, dikenal sebagai sosok yang memiliki tipikal “terang-terangan” dalam berucap. Karakter ini sudah menjadi pembawaan sejak kecil. “Lebih baik teguran yang nyata dari pada pada kasih yang tersembunyi,” kutip Steven yang saat dipercayakan sebagai Ketua Ikatan Alumni UI di Sulut. Kata-katanya mungkin bagi yang belum kenal dekat dengannya, akan terasa terlalu keras. Tapi di lingkungan keluarga, partai maupun di pemerintahan, seperti sudah mahfum dengan tipikal pria yang berdarah campuran Tondano dan Minahasa Selatan ini.
Sejak berkecimpung di dunia politik, dia kenal sebagai politisi yang kritis. Baik saat menyandang predikat sebagai wakil rakyat di Gedung Cengkih, maupun saat menjalankan tugas partai. Menjadi juru bicara partai saat kampanye misalnya. Sosok yang hobi membaca ini dikenal sebagai salah satu singa podium. Kata-katanya sering menghujam tajam. Intonasinya terdengar garang. Orasinya yang sering membakar semangat ini, membuat Steven makin populis.
Namun saking vocal, orasinya sering nyerempet ke hal-hal yang sensitif. Ia pernah punya pengalaman pahit, materi orasinya berbuntut panjang. Ia sempat kena bully dari netizen terkait Patung Schwars di Langowan dan kritikannya terhadap Prabowo Subianto yang saat itu masih menjadi capres.
Selama beberapa hari, ia kena bully. Dicibir dengan guyonan bernada satire sampai dihina. Dicap negatif hingga dihujat. Apa reaksi Steven? Ia menggumuli kejadian tersebut dan menyadari kesalahannya. Kesadaran itu dibarengi dengan sikap terpuji dengan menyampaikan permohonan maaf.
“Dari lubuk hati terdalam, tidak dipaksakan, tetapi kesadaran pribadi, saya mau sampaikan kepada sahabat-sahabat, saudara-saudara di Langowan, TKD Prabowo-Gibran, termasuk keluarga besar Maengkom-Sigar, permohonan maaf sebesar-besarnya,” kata pria paruh baya yang dipercayakan sebagai Ketua Bapilu Sulut. “Sekali lagi saya menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya,” lanjutnya.
Dalam literatur kontemporer, meminta maaf adalah cara terbaik untuk mengembalikan keretakan sebuah relasi. Hal ini tentunya juga berlaku bagi politikus. Permohonan maaf yang tulus dan sungguh-sungguh dapat meminimalisir efek kekecewaan dari konstituen.
Permohonan maaf adalah sikap politik yang bertujuan untuk memulihkan relasi, tapi juga menunjukkan kerendahan hati sebagai politisi. Jangankan politisi kawakan, masyarakat biasa pun sering atau pernah keselip lidah. Namun yang terpenting adalah meminta maaf dengan penuh penyesalan. Penyesalan yang tergambar jelas dari gesturnya.
Jelas saja, pengalaman ini sempat membuatnya terpukul. Namun sebagai politisi, dia mengaku harus bangkit. Ibarat kata-kata bijak yang dikatakan oleh Winston Churchill, “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik anda bisa mati berkali-kali.” Pengalaman itu ibarat ujian bagi seorang kader. “Kalau mengaku kader partai, harus seperti batu kristal. Dibuang di tempat sampah, atau dibuang di tempat becek, batu kristal tetap akan bercahaya,” tuturnya memberi ilustrasi.
Di dunia politik, menurut Steven, agar bisa bertahan dibutuhkan konsistensi dan loyalitas. Termasuk dedikasi dan integritas. Bahkan, baginya politisi akan makin matang apabila pernah mengalami kegagalan dan kesalahan. “Politisi perlu diuji, apakah mampu dan berani menghadapi tantangan atau tidak. Kalau tidak mau diterpa ombak, jangan dirikan rumah di tanjung. Kalau tidak mau mengambil resiko dan gagal, jangan jadi politisi,” paparnya.